Sunday, April 14, 2013

JARING INSANG RAJUNGAN (JARING KEJER)

April 14, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 6 comments



Jaring kejer adalah salah satu alat tangkap yang berbentuk empat persegi panjang dan digunakan untuk menangkap rajungan (Portunnus  sp) di perairan pantai. Menurut Martasuganda (2002), jaring kejer adalah alat tangkap yang juga disebut dengan jaring insang satu lembar atau dalam bahasa asingnya disebut dengan “Gillnet ”.
Martasuganda (2002) menyebutkan bahwa jaring insang yang ada di Indonesia terdiri dari jaring insang satu lembar atau  single gillnet, jaring insang dua lembar atau  double gillnet dan jaring insang tiga lembar atau  trammel net . Penamaan dari ketiga jenis jaring ini bisa berbeda menurut daerah atau penamaannya   disesuaikan   dengan   nama   ikan   yang   akan   dijadikan   target tangkapan.
Menurut Ayodhyoa (1981), pada umumnya yang dimaksud dengan  gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain, jumlah  mesh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh size pada arah panjang jaring.
Pengertian jaring insang (gillnet ) ialah suatu alat tangkap berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat, ris atas, ris bawah (kadang tanpa ris bawah : sebagian dari jaring udang barong). Besar mata jaring bervariasi disesuaikan dengan sasaran yang akan ditangkap (ikan, udang). Ikan yang tertangkap itu karena terjerat (gilled), pada bagian belakang lubang penutup insang (operculum) atau kurang lebih demikian, terbelit atau terpuntal (entangled) pada  mata  jaring  terdiri  dari  satu  lapis  (gillnet), dua  lapis, maupun tiga lapis (jaring kantong/ciker/tilek, “trammel net ”). Jaring ini terdiri dari satuan-satuan jaring  yang  biasa  disebut  tinting  (pis).  Dalam  operasi  penangkapan  biasanya terdiri dari beberapa tinting yang digabung menjadi satu sehingga merupakan satu perangkat (unit) yang panjang (300-500 m), tergantung dari banyaknya tinting yang akan dioperasikan. Jaring insang termasuk alat tangkap selektif, besar mata jaring dapat disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1998).
Berdasarkan klasifikasi alat penangkapan ikan, jaring kejer diklasifikasikan kedalam kelompok jaring insang tetap, yaitu jaring dasar. Secara umum jaring insang tetap termasuk kedalam alat jaring insang atau  gillnet. Jaring kejer yang digunakan nelayan untuk menangkap rajungan termasuk kedalam golongan jaring puntal atau tangle net karena rajungan yang merupakan sasaran utama penangkapanya tertangkap dengan cara terpuntal atau terbelit bagian tubuhnya pada badan jaring atau  entangled (Muslim, 2000). Menurut von Brandt (1984), jaring kejer termasuk kelompok alat tangkap tangle net , atau lebih spesifik single- walled tangle net, karena rajungan yang merupakan sasaran utama penangkapanya tertangkap dengan cara terpuntal (entangled) bagian tubuhnya pada badan jaring. Martasuganda  (2002),  menyatakan  bahwa  jumlah  pis  disesuaikan dengan besar kapal, modal dan kemampuan nelayan yang mengoperasikannya, tetapi umumnya memakai 10-20 pis. Penurunan jaring (setting) dilakukan setelah matahari terbenam dengan cara diset me netap di dasar perairan selama 10-12 jam.
Secara umum konstruksi jaring kejer ini terdiri dari badan jaring (webbing), tali ris atas atau bawah, pelampung (float), tali pelampung (float line), pemberat (sinker), tali pemberat (sinker line), tali selambar, pelampung tanda, dan pemberat tambahan (Wawancara dengan nelayan Gebang Kabupaten Cirebon, 2006).
Badan  jaring  terbuat  dari PA  Monofilament  berwarna transparan dengan nomor benang 20, ukuran mata jaring (mesh size) 3-3,5 inci dan jumlah mata ke arah tinggi jaring 6-7 mata. Perahu yang digunakan outboard engine berkekuatan
11-13,5 PK dengan bahan bakar solar. Nelayan jaring kejer berjumlah 2-3 orang yaitu  terdiri  dari  1  orang  sebagai  juri  mudi  dan  1-2 orang sebagai petawur.
Konstruksi dari jaring kejer menurut Martasuganda (2002), hanya terdiri dari satu  lembar  jaring  (badan  jaring)  dimana  ukuran  matanya  adalah  sama.  Pada bagian bawah dilengkapi dengan pemberat.
1.   Badan Jaring
Badan PA Monofilament d.02 mm, besar mata jaring (mesh size) 8,89 cm (3,5 inci), jumlah mata ke arah tinggi jaring 6-7 mata dan jumlah mata dalam satu meter ke arah panjang jaring 16,5 mata.
2.   Panjang Jaring
Panjang jaring dalam satu tinting (pis) untuk bagian tali ris atas adalah 40-50 m dan untuk bagian tali ris bawah adalah 42-52 m.
Metode Pengoperasian Jaring Kejer
Jaring kejer dalam pengoperasiannya dibawah (diset) di dasar perairan, yang sasaran utama penangkapan adalah rajungan          dan ikan- ikan dasar. Cara pengoperasian jaring kejer ini disamping didirikan secara tegak lurus atau kurang lebih  demikian  dapat  juga  diatur  begitu  rupa  yang  seakan-akan   menutup permukaan dasar atau dihamparkan pada dasar perairan (Subani dan Barus, 1998).
Pemasangan jaring kejer secara umum adalah dipasang melintang terhadap arah arus dengan tujuan menghadang arah ikan dan diharapkan ikan- ikan tersebut menabrak jaring serta tejerat dan terpuntal atau entangled pada tubuh jaring. Oleh karena  itu,  warna  jaring  sebaiknya  disesuaikan  denga n warna perairan tempat jaring kejer dioperasikan (Sadhori,1985). Ayodhyoa (1981) menyatakan bahwa warna jaring di dalam air akan dipengaruhi oleh faktor-faktor kedalaman dari perairan, tranparansi, sinar matahari, sinar bulan dan lain- lain. Selain itu setiap warna memiliki derajat terlihat atau visibilitas yang berbeda bagi ikan, yang dapat menjadikan jaring seperti suatu benda penghalang atau penghadang. Dengan demikian, kemungkinan terlihatnya jaring pada  siang hari lebih besar dibandingkan pada malam hari, sehingga sebaiknya warna jaring tidak kontras terhadap warna air maupun warna dasar perairan.
Penelitian-Penelitian Tentang Jaring Kejer
Penelitian sebelumnya (Muslim (2000), Nurhakim (2001), Gardenia (2002), Effendie (2002), Miskiya (2003), Suadela (2004), Ansharullah (2004), Firmansyah (2004) dan Setiyawan (2004)) sudah mendeskripsikan data ukuran rajungan yang tertangkap, yaitu lebar karapas dan panjang karapas pada masing- masing penelitian
Deskripsi Bubu Lipat (Wadong)
Bubu adalah perangkap yang digunakan untuk menangkap ikan, bubu mempunyai pintu dan badan yang dirancang sedemikian rupa sehingga bila ikan masuk ke bubu melalui pintu tersebut tidak akan dapat keluar lagi. Alat tangkap bubu dapat dipergunakan untuk menangkap ikan demersal dan pelagis di perairan teritorial Indonesia dan perairan ZEEI Samudera Hindia dan ZEEI Samudera Pasifik. Ikan- ikan yang tertangkap pada operasi alat tangkap bubu ini adalah jenis-jenis ikan demersal  (bubu  dasar),  dan  ikan-ikan pelagis (bubu apung/hanyut) (Direktorat Sarana Perikanan Tangkap, 2003).
Menurut (Subani dan Barus, 1998), bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal  di  kalangan nelayan, variasi bentuknya  banyak  sekali,  hampir  setiap daerah perikanan mempunyai model dan bentuk sendiri. Bentuk bubu ada yang seperti : sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran dan lain- lainnya.
Perangkap adalah alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang oleh pintu masuknya yang berbentuk corong (non-return device) (von Brandt, 1984).
Bub u adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif, yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan ikan mengunakan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury, 1996).
Menurut Martasuganda (2003), bentuk bubu sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segiempat, trapesium, silinder, lonjong, bulat setengah lingkaran, persegi panjang atau bentuk lainnya, bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang akan dijadikan target tangkapan, tetapi meskipun yang dijadikan target tangkapan   sama,   terkadang   bentuk   bubu   yang   dipakai   bisa   juga   berbeda tergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya. Berbeda dengan alat tangkap yang terbuat dari jaring seperti pukat cincin, trawl, jaring   insang,  set  net   dan   alat   tangkap   lainnya.   Bentuk   bubu   tidak   ada keseragaman diantara nelayan di satu daerah dengan nelayan di daerah lainnya termasuk bubu di satu negara dengan negara lainnya.
Alat  tangkap  ini  dibuat  dalam  bentuk  empat  persegi  panjang,  biasanya dilengkapi dengan suatu katup yang didesain agar ikan mudah untuk masuk, tetapi sulit keluar. Pada umumnya bubu dibuat dari bahan bambu yang dianyam, tetapi pada saat ini sering digunakan bahan jaring. Bubu dapat digunakan  dengan atau tanpa umpan (Umali dan Warfel, 1949).
Secara garis besar komponen bubu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : badan (body), mulut (funnel) dan pintu. Bubu biasa terbuat dari bahan anyaman bambu, anyaman  rotan,  atau  anyaman  kawat.  Bentuk  bubu  sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendiri-sendiri (Subani dan Barus, 1998).
Konstruksi  atau  struktur  alat  tangkap  bubu  menurut  Direktorat  Sarana Perikanan Tangkap (2003), terdiri atas :
1.   Rangka besi atau bahan lainnya yang d ibentuk sedemikian rupa sesuai dengan bentuk bubu yang digunakan (kotak persegi, kotak empat persegi panjang, oval, silinder, bulat dan lain- lain).
2.         Mulut atau jendela adalah tempat masuknya ikan kedalam bubu yang diberi
corong jaring, sehingga bila ikan masuk kedalamnya tidak dapat keluar lagi.
3.   Net webbing adalah jaring multifilament dari bahan PA yang berfungsi sebagai pembungkus (pembentuk)  dari  rangka  sehingga  rangka  tersebut  berbentuk bubu yang diinginkan.
4.   Tali  penarik  adalah  tali  PE  yang  diikatkan  pada  bagian  atas  bubu  yang
berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan bubu ke dalam air.
Menurut Martasuganda (2003), memberikan penjelasan bahwa secara umum konstruksi bubu terdiri dari rangka, badan dan pintu masuk, kemudian ada juga yang dilengkapi  dengan  pintu  untuk  mengambil  hasil  tangkapan  dan  kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan. Rangka bubu ada yang tersebut dari  lempengan  besi,  besi  behel,  bambu,  kayu  atau  bahan  lainnya.  Sedangkan badan bubu ada yang terbuat dari anyaman kawat, jaring, waring, anyaman bambu atau  bahan  lainnya  yang  bisa  dijadikan  sebagai  badan  bubu.  Untuk  kantung umpan kebanyakan bahannya memakai kawat kasa. Selain itu, ada juga jenis bubu yang bahannya memakai bekas cangkang kerang, keramik, potongan bambu atau potongan paralon.
Alasan utama dari pemakaian bubu di suatu daerah penangkapan. Menurut Martasuganda (2003)  adalah            kemungkinan   disebabkan      karena  beberapa pertimbangan seperti :
1.   Adanya larangan mengoperasikan alat tangkap selain bubu
2.   Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung
3.   Kedalaman daerah penangkapan yang tidak memungkinkan alat tangkap lain untuk dioperasikan
4.   Biaya pembuatan alat tangkap murah
5.   Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap tergolong mudah
6.   Hasil tangkapan dalam keadaan hidup
7.   Kualitas hasil tangkapan bagus
8.   Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi dan
9.   Pertimbangan lainnya
Berdasarkan cara pengoperasiannya, bubu dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu bubu dasar atau ground fishpot, bubu apung atau floating fishpot dan bubu hanyut atau drifting fishpot (Subani dan Barus, 1998). Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu dengan bubu satu tali pelampung atau  single trap; dan beberapa bubu dirangkai menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut mainline traps.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh perikanan bubu antara lain  ghost fishing. Hal ini dapat terjadi ketika bubu tertinggal pada suatu perairan.  Bubu yang tertinggal tersebut masih dapat berfungsi sebagai pemikat ikan atau udang. Ikan yang tertangkap akan mati dengan sendirinya menjadi umpan ikan yang lebih besar lagi. Bila hal ini terjadi terus, produktivitas perikanan di perairan tersebut berkurang. Menurut Martasuganda (2003), kejadian ghost  fishing bisa dicegah sekecil mungkin dengan cara yaitu, pada waktu penyambungan tali temali dikerjakan  seteliti  mungkin  dan  sebaik  mungkin  untuk  mencegah  pemotongan dari tangan usil dan terpotong secara tidak sengaja oleh baling-baling kapal lain, jumlah pemakaian bubu dibatasi agar mencegah banyak bubu yang hilang, bubu memakai bahan tertentu (bahan organik) dan tidak memakai bahan plastik atau metal.
Bubu lipat yang digunakan oleh nelayan Gebang Mekar dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini. Ukuran bubu lipat (wadong) yang biasa digunakan untuk lama waktu 3 hari dalam 1 kali trip adalah P x L x T = 52 cm x 33 cm x 20 cm.
Metode Pengoperasian Bubu Lipat (Wadong)
Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu menurut Martasuganda (2003), pada umumnya hampir sama yaitu disamping di daerah penangkapan yang sudah  diperkirakan  banyak  hidup  ikan  (ikan  dasar,  rajungan,  udang,  keong, lindung, cumi-cumi,  gurita  atau  habitat  perairan  lainnya  yang  bisa  ditangkap dengan bubu) yang akan dijadikan target tangkapan. Pemasangan bubu ada yang dipasang satu demi satu (pemasangan sistem tunggal), ada juga yang dipasang secara  berantai  (pemasangan  sistem  rawai).  Waktu  pemasangan  “setting” dan pengangkatan “hauling ” ada yang dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari tergantung dari nelayan yang mengoperasikannya.   Lama   perendaman   bubu   di   perairan   ada   yang   hanya direndam beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam sampai 3 hari tiga malam dan bahkan ada yang direndam sampai 7 hari 7 malam.
Subani dan Barus (1998), menyatakan bahwa dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu ukuran besar), bisa ganda (umumnya untuk bubu ukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang-karang atau bebatuan, untuk memudahkan mengetahui tempat- tempat dimana bubu dipasang, maka dilengkapi dengan pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 2-3 hari setelah bubu dipasang, kadang bahkan beberapa hari setelah dipasang.
Bubu lipat (wadong) yang dioperasikan oleh nelayan Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon, rata-rata lamanya perendaman bubu di perairan berkisar 3-5 jam dengan pemasangan berantai (sistem rawai). Jenis umpan yang dipakai adalah ikan petek dan ikan rucah dengan ukuran 5 cm (Wawancara nelayan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon, 2006).
Alat tangkap bubu sifatnya pasif sehingga dibutuhkan pemikat atau umpan agar ikan yang akan dijadikan target tangkapan mau memasuki bubu. Jenis umpan yang dipakai sangat beraneka ragam ada yang memakai umpan hidup, ikan rucah atau jenis umpan lainnya. Penempatan umpan didalam bubu pada umumnya diletakkan di tengah-tengah bubu baik di bagian bawah, tengah atau di bagian atas dari bubu dengan cara diikat atau digantung dengan atau tanpa pembungkus umpan (Martasuganda, 2003).
Monintja dan Martasuganda (1990) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan karang dan udang terperangkap ke dalam bubu yaitu karena tertarik oleh bau umpan, untuk tempat istirahat sewaktu ikan bermigrasi, karena sifat thigmotaxis dari ikan itu sendiri. Sifat thigmotaxis adalah  sifat ikan yang selalu ingin mengetahui suatu benda asing yang ada di sekitarnya, sehingga cenderung  untuk  menyentuhkan  diri  pada  benda  tersebut. Sedangkan menurut Larger et al. (1977), reaksi ikan mendekati bubu disebabkan oleh respon ikan tersebut untuk mencari tempat berlindung.
Menurut IMA (2001) diacu dalam Widyaningsih (2004), untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup- hidup dan hanya ikan- ikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring).
Menurut Tiyosa (1979), fluktuasi hasil tangkapan bubu terjadi karena :
1.   Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan;
2.   Keragaman ikan di dalam populasi;
3.   Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangkap jenis ini bersifat pasif dan menetap.

6 comments:

  1. Teknologi Penangkap Rajungan Ramah Lingkungan

    Indonesia memiliki Teknologi Penangkap Rajungan Ramah Lingkungan

    Dari Cirebon untuk Indonesia memperkenalkan teknologi penangkapan Rajungan ramah lingkungan, disebut bubu, wadong, bintur kepada nelayan dari sabang sampai merauke untuk mengatasi ancaman ekspoitasi perikanan di laut Indonesia
    Teknologi bubu ini telah diterapkan di pantai utara jawa yang hasilnya sangat memuaskan, adanya jaring bubu banyak sektor-sektor lain sebagai pendukung dari mulai ikan untuk umpan, iindustri es batu dan lain sebainya selain juga ramah lingkungan jaring bubu produksi eka plastik telah berhasil meningkatkan penghasilan nelayan baik yang besar, sedang dan kecil imbas nya pada kesejahteraan para nelayan dan pendapatan negara melalui peningkatan ekspor hasil laut sebesar 2,47 Triliun dari sektor ini ditahun 2012 terus meningkat dari tahun ke tahun sebelumnya

    bubu wadong merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya mirip dengan perangkap. Bubu yang terbuat dari besi kawat galvanis untuk rangkanya, dilapisi jaring pe, disulam dengan benang d6 biasanya digunakan nelayan tradisional.
    Bubu wadong dapat dipasang sampai kedalaman lebih dari 40 meter sedangkan perangkap tradisional hanya mencapai kedalaman tiga meter.

    Selain ramah lingkungan karena perairan pantai tetap terjaga, jarring bubu juga menciptakan kerjasama antar nelayan sehingga mengurangi konflik yang timbul akibat perebutan wilayah penangkapan.

    Perekonomian nelayan juga meningkat karena hasil tangkapan yang diperoleh dalam kondisi segar dan dapat dijual dengan harga tinggi, Cara kerja jaring bubu, menurutnya sangat mudah karena nelayan hanya menaruh umpan ditempat pengait lalu dikancing, jaring bubu dimasukan ke laut dan rajungan pun masuk ke perangkap, sehingga Rajungan dalam kondisi segar dapat dipanen setiap hari.

    penangkapan Rajungan yang dilakukan nelayan tradisional dengan menggunakan berbagai alat tangkap dapat mengakibatkan penurunan stok Rajungan Jumbo dan degradasi lingkungan.
    Di Wilayah Jawa saat ini telah terpasang 30 ribu/bulan Jaring Bubu di sepanjang pantai Utara Jawa dan produksi Rajunganya memberi kontribusi terbesar.

    Jaring bubu wadong sendiri diproduksi oleh Eka plastik bubu sebuah kelompok usaha nelayan yang bisa memproduksi jaring bubu hingga 100 ribu /bulan karena mutu dan kualitas sudah teruji di laut serta ukuran yang flexsibel tergantung dari situasi laut itu sendiri dan EKA plastik bercita-cita jaring bubu produksi bisa diekspor ke berbagai Negara didunia sehingga bisa dinikmati oleh nelayan di seluruh dunia.

    untuk info dan pemesanan
    EKA plastik
    Jl. Puri Langgeng IX No.13 Cirebon Jawabarat - Indonesia
    Telp. (0231) 3890607
    Hp. 08115007600 - 0817260782
    https://www.facebook.com/jaring.bubu.eka.plastik
    https://sumberdayalaut.blogspot.com/

    ReplyDelete
  2. Produksi bubu rajungan untuk di jual hub.085328358001
    Www.buburajungankepiting.blogspot.com

    ReplyDelete
  3. Produksi bubu rajungan untuk di jual hub.085328358001
    Www.buburajungankepiting.blogspot.com

    ReplyDelete
  4. nelayantradsonal.blogspot.com

    ReplyDelete